Selasa, 17 Januari 2017

Komite Sekolah Boleh Galang Dana. Ini Penjelasannya


Dengan pertimbangan untuk meningkatkan layanan mutu pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy memandang perlu dilakukan revitalisasi tugas Komite Sekolah berdasarkan prinsip gotong royong. Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 30 Desember 2016, Mendikbub menandatangani Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor: 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

Dalam peraturan ini disebutkan, bahwa Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

“Komite Sekolah berkedudukan di tiap sekolah, berfungsi dalam peningkatan pelayanan pendidikan; menjalankan fungsinya secara gotong royong, demokratis, mandiri, profesional, dan akuntabel,” bunyi Pasal 2 ayat (1,2,3) Permendikbud itu.

Menurut Permendikbud ini, anggota Komite Sekolah terdiri atas:
a. Orangtua/wali dari siswa yang masih aktif pada sekolah yang bersangkutan paling banyak 50% (lima puluh persen)
b. Tokoh masyarakat paling banyak 30% (tiga puluh persen), antara lain: 1. Memiliki pekerjaan dan perilaku hidup yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat setempat; dan/atau 2. Anggota/pengurus organisasi atau kelompok masyarakat peduli pendidikan, tidak termasuk anggota/pengurus organisasi profesi penduduk dan pengurus partai politik;
c. Pakar pendidikan paling banyak 30% (tiga puluh persen), antara lain: 1. Pensiunan tenaga pendidik; dan/atau 2. Orang yang memiliki pengalaman di bidang pendidikan.

“Anggota Komite Sekolah berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 15 (lima belas) orang,” bunyi Pasal 4 ayat (2) Permendikbud itu.

Ditegaskan dalam peraturan itu, bahwa bupati/wali kota, camat, lurah/kepala desa merupakan pembina seluruh Komite Sekolah sesuai dengan wilayah kerjanya.

Menurut Permendikbud ini, anggota Komite Sekolah dipilih melalui rapat orangtua/wali siswa, dan ditetapkan oleh Kepala Sekolah yang bersangkutan, dengan masa jabatan paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Keanggotaan Komite Sekolah berakhir apabila:
a. Mengundurkan diri;
b. Meninggal dunia;
c. Tidak dapat melaksanakan tugas karena berhalangan tetap; atau
d. Dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Penggalangan Dana

Dalam Permendikbud ini disebutkan, Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.

“Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan,” bunyi Pasal 10 ayat (2) Permendikbud ini.

Namun ditegaskan dalam Permendikbud ini, bahwa Komite Sekolah harus membuat proposal yang diketahui oleh Sekolah sebelum melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat. Selain itu, hasil penggalangan dana harus dibukukan pada rekening bersama antara Komite Sekolah dan Sekolah.

Hasil penggalangan dana tersebut dapat digunakan antara lain:
a. Menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan;
b. Pembiayaan program/kegiatan terkait peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan;
c. Pengembangan sarana/prasarana; dan
d. Pembiayaan kegiatan operasional Komite Sekolah dilakukan secara wajar dan dapat dipertanggung jawabkan.

Sementara penggunanaan hasil penggalangan dana oleh Sekolah harus:
a. Mendapat persetujuan dari Komite Sekolah;
b. Dipertanggungjawabkan secara transparan; dan
c. Dilaporkan kepada Komite Sekolah.

“Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 16 Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 yang telah diundangkan oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana pada 30 Desember 2016.

Sumber: Setgab

Minggu, 15 Januari 2017

Stop Bully Annisa Pohan!

Kasihan Annisa Pohan. Tiga calon gubernur Jakarta yang berdebat di atas panggung, Annisa yang panen bullyan. Dia dibully habis-habisan lantaran komentarnya di media sosial “path” tersebar di berbagai platform media sosial. Komentar itu sebenarnya disampaikan Annisa untuk mengomentari postingan teman path-nya.

Stop Bully Annisa Pohan
Annisa Pohan dan Agus Harimurty Yudhoyono dalam sebuah acara di Jakarta. | Photo: Instagram Annisa Pohan

Annisa adalah istri Agus Harimurti Yudhoyono, Putra pertama Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono yang kini sedang ikut berkompetisi dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Bully dan komentar negatif terhadap Annisa adalah buntut dari debat Pilkada DKI Jakarta yang digelar di Jakarta, Jumat, 13 Januari 2017 malam. Debat itu menghadirkan ketiga pasangan cagub/ cawagub DKI Jakarta: Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Seperti yang terjadi pada debat politik lainnya, debat Pilkada DKI Jakarta juga tak kalah seru.

Masing-masing pasangan calon mengungkapkan rencana, konsep dan strategi membangun Jakarta jika mereka terpilih. Terhadap debat itu, reaksi-positif dan negative-dari banyak kalangan tumpah ruah di media sosial. Kabar bagusnya, banyak orang berpartisipasi menyaksikan dan aktif mengomentari konten opini yang disampaikan para kandidat gubernur di panggung debat. Kabar buruknya, komentar-komentar yang muncul dalam debat kebanyakan caci maki, cercaan, hujatan, dan ujaran kebencian terhadap kandidat yang tidak didukung.

Meme, video pendek editan, tulisan-tulisan di media sosial kebanyakan adalah bentuk sikap tidak setuju dengan apa yang disampaikan pasangan yang tidak didukung. Pendukung dari tiga kandidat saling serang dan saling cerca di media sosial sambil menjagokan pasangan calon yang diusung.

Buat saya, wajar-wajar saja jika saling serang opini itu terjadi di panggung debat. Itulah bukti pertarungan gagasan antara ketiga kandidat untuk mendulang simpatik para pemilih di Ibukota. Beragam opini yang mereka sampaikan di atas panggung debat justru akan memperkaya alasan bagi para pemilih untuk menentukan pilihan mereka; pada kandidat mana pemilih harus menjatuhkan pilihan saat hari pemungutan suara nanti.

Dimana-mana, ideal dari sebuah debat adalah adu gagasan, adu konsep, adu perencanaan. Bukan saling hujat. Para kandidat gubernur di ibukota telah menampilkan itu pada debat tahap pertama Jumat malam. Setidaknya apresiasi perlu disampaikan kepada ketiga kandidat itu.

Di situlah posisi para pendukung harus ditunjukkan. Berkomentar, memberi tanggapan dan membantah secara kritis-logis-objektif setiap gagasan yang disampaikan para kandidat. Bukanlah hujatan yang tak karuan caci maki dan bully yang tak sehat yang dikemukakan. Membully kandidat justru hanya akan memperkeruh suasana politik di Ibukota, meyulut sumbu konflik politik lintas pendukung dari tiga kandidat yang bertarung.

Dalam kasus Annisa Pohan, dia menjawab komentar dari sahabat dekatnya (pengertian sahabat, teman dekat lebih mungkin karena kedekatan relasi persahabatan mereka) yang turut mengomentari debat yang diselenggarakan di Hotel Bidakara itu. Tentu, saya, sebagai wanita juga akan berlaku sama dengan Annisa jika suami saya mengikuti debat itu dan ada teman saya yang berkomentar buruk terhadap penampilan suami saya.

Saya tentu akan merasa, sebagai wanita, tersinggung karena suami saya dihujat teman dekat saya yang, menurut saya, seharusnya tidak berlaku demikian terhadap sahabatnya sendiri. Di dunia ini, istri siapa lah yang tak tersinggung jika suaminya dilecehkan seperti itu di media sosial? Hati wanita mana yang tak sakit dengan ujaran kebencian pihak lain di muka umum? Apalagi, jika itu dilakukan oleh teman sendiri.

Saya yakin satu hal, tanggapan Annisa tentu akan berbeda manakala hal itu tidak diujar oleh netizen yang tak pernah dikenal Annisa.

Itulah wujud dukungan terbaik yang diberikan Annisa kepada suaminya, Agus Harimurti Yudhoyono. Toh Annisa berlatar pendidikan tinggi yang juga mempunyai konsep dan pemahaman tentang dunia perpolitikan. Ayahnya juga seorang tokoh politik nasional. Lagi-lagi, penekanan saya ada pada ekpresi emosional Annisa terhadap sahabatnya sendiri yang berkomentar negatif terhadap penampilan suaminya. Toh komentar balasan Annisa terhadap temannya itu tidak serta merta bermakna ajakan untuk tidak berbeda pilihan politik dengan Annisa, kan?

Sayangnya, komentar itu serentak dipakai sejumlah pendukung pasangan lain untuk menyerang AHY serta keluarganya. Percakapan Annisa dan sahabatnya itu lalu dicapture dan disebarkan ke berbagai media sosial. Heboh. Annisa panen bullyan, diolok-olok; hal yang tak perlu dilakukan jika anda adalah netizen cerdas pendukung kandidat gubernur DKI Jakarta yang benar-benar pro terhadap penggunaan internet secara sehat, dan tidak menjadikan internet sebagai media penyebaran fitnah dan kebencian.

Bagaimana jika anda ada di posisi seorang Annisa; sebagai wanita, sebagai isteri seorang Agus Harimurti? Salam.

Selasa, 03 Januari 2017

Ini 15 Bentuk Kekerasan Seksual Versi Komnas Perempuan

Ini 15 Bentuk Kekerasan Seksual Versi Komnas Perempuan

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pernah merilis 15 bentuk kekerasan seksual berdasarkan hasil kajian Komnas Perempuan selama 15 tahun (1998-2013). 15 bentuk kekerasan seksual itu, antara lain;

1. Perkosaan

Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya.Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan diluar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun.

2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan

Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain. Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.

3. Pelecehan Seksual

Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan

4. Eksploitasi Seksual

Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untukmemperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi seksual yang kerap ditemui adalah menggunakan kemiskinan perempuan sehingga ia masuk dalam prostitusi atau pornografi. Praktik lainnya adalah tindakan mengimingimingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarkankan.

Situasi ini kerap disebut juga sebagai kasus “ingkar janji”. Iming-iming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat, yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya. Perempuan menjadi merasa tak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi.

5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual

Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam negara maupun antar negara.

6. Prostitusi Paksa

Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.

7. Perbudakan Seksual

Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan ini mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.

8. Pemaksaan perkawinan, termasukcerai gantung

Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri. Pertama, ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang yang tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik memaksa korban perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun, gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu memaksakan perempuan untuk menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk dengan mantan suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam). Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagaidaerah.

9. Pemaksaan Kehamilan

Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya untuk menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan itu tidak dapat mengatur jarak kehamilannya. Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya.

10. Pemaksaan Aborsi

Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.

11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi

Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan. Pada masa Orde Baru, tindakan ini dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan.

Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan kontrasepsi/ sterilisasi biasa terjadi pada perempuan dengan HIV/ AIDS dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan HIV/ AIDS. Pemaksaan ini juga dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya tuna grahita, yang dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri, rentan perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk mengurus kehamilannya.

12. Penyiksaan Seksual

Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga.

Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan untuk mengancam atau memaksanya, atau orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun. Termasuk bentuk ini apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh hasutan, persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik atau aparat penegak hukum.

13. Penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual

Caramenghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.

14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan

Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/ atau budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan. Sunat perempuan adalah salah satu contohnya.

15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama

Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan perempuan “nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi simbolsimbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-baik’.

Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam tertentu, larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. Aturan yang diskriminatif ini ada di tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama. Pelanggar aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda, penjara maupun hukuman badan lainnya.

Kegagalan Tak Harus Ditangisi

Kita pernah gagal atau merasa gagal. Di dalam banyak hal, kita sering gagal. Gagal artinya tidak berhasil; tidak tercapai. Apa yang kita kerjakan atau kita usahakan tidak sampai pada tujuannya. Kecewa, marah, sakit hati adalah perasaan-perasaan yang timbul saat kita gagal melakukan sesuatu. Lebih parah lagi jika kegagalan terjadi untuk kesekian kalinya.


Saya membedakan kegagalan dan merasa gagal. Kegagalan adalah sebuah kondisi yang benar-benar tidak memungkinkan kita melanjutkan sebuah pekerjaan atau usaha. Sedangkan, merasa gagal adalah bentuk sikap pesimis terhadap sebuah usaha yang kita kerjakan di saat pekerjaan itu sedang diusahakan.

Semua orang tentu mengalami kegagalan. Anda dan saya juga pernah, bahkan sering mengalami kegagalan. Saya percaya, manusia tidak akan pernah bisa mencapai titik puncak keberhasilan sampai ia pernah jatuh dalam titik yang paling bawah.

Artinya, kegagalan bukan akhir dari segalanya, namun merupakan proses dari lahirnya keberhasilan. Kegagalan bukan lah sebuah luka. Jika kegagalan itu diibaratkan sebagai luka, maka kita perlu menghadapi rasa perih ketika diobati untuk bisa sembuh. Membiarkan luka itu begitu saja jelas tak akan membuatnya jadi makin membaik. Perlu usaha untuk menyembuhkan dan berani menghadapi perihnya rasa sakit tersebut.

Di situlah peran otokritik diri menjadi bermaksa. Tenangkan pikiran, menuliskan apa yang kita telah kerjakan, dan berusaha menemukan alasan kita tak menemukan keberhasilan adalah daftar langkah kita untuk tidak gagal lagi pada usaha berikutnya.

Menurut Arry Rahmawan, seorangn praktisi trainer dari Universitas Indonesia, ada 9 makna penting di balik kegagalan;

1. Gagal itu tidaklah sama dengan menjadi pecundang. Seseorang bisa saja sering gagal namun tetap bukan seorang pecundang. Seorang pecundang justru adalah mereka yang kabur duluan sebelum mencoba karena takut gagal.

2. Gagal tidaklah memalukan seperti yang dikira semua orang. Berbuat salah tidaklah lebih daripada bergabung dengan umat manusia lainnya. Tidak ada manusia yang tidak pernah gagal

3. Kegagalan itu hanyalah kemunduran sementara. Kegagalan tidaklah pernah menjadi bab terakhir dari buku kehidupan anda kecuali anda menyerah.

4. Sesuatu yang layak itu tak pernah tercapai tanpa resiko gagal. Orang yang meresikokan segalanya untuk mencoba mencapai sesuatu yang benar-benar layak lalu gagal sama sekali bukanlah pecundang yang memalukan.

5. Kegagalan adalah persiapan alami untuk meraih sukses. Walaupun tampaknya aneh, sukses itu lebih sulit dijalani dengan sukses ketimbang kegagalan.

6. Setiap kegagalan pasti disertai dengan peluang-peluang akan sesuatu yang lebih besar. Analisalah kegagalan dari sudut manapun, maka akan anda temukan benih-benih untuk mengubah kegagalan itu menjadi sukses.

7. Adalah terpulang pada anda untuk menyikapi kegagalan-kegagalan dalam kehidupan anda.Kegagalan itu bisa menjadi berkat atau kutukan, tergantung pada reaksi atau respons masing-masing individu terhadapnya.

8. Kegagalan adalah peluang untuk belajar bagaimana caranya mengerjakan segalanya dengan lebih baik lain kali – belajar di mana bahaya2nya dan bagaimana caranya untuk menghindarinya.Hal yang terbaik dapat dilakukan dengan kegagalan adalah belajar sebisanya darinya.

9. Kegagalan adalah pembuat samar kesuksesan yang ada di depan mata. Intinya adalah kegagalan adalah penipu licik dari kesuksesan yang seharusnya sudah ada selangkah di depan mata. Jadi, jangan pernah quit ketika menghadapi kegagalan sementara.

Jumat, 02 Desember 2016

Merawat Kedamaian

Saya bahkan tak mengucapkan "Selamat Natal dan Selamat Tahun Baru" di Molas Hombel. Untuk kesekian kalinya, penyakit malas dalam dunia blogging adalah penyakit paling susah disembuhkan. Malas menulis, malas berpikir, malas mencari inspirasi, malas menarasikan, dan sebagainya. Maka, sambil berbenah pikiran dan mengasa jari jemari, tulisan ini sebaiknya tanpa judul. Itu yang terpikirkan saat hendak kembali menjalankan jari di atas papan tombol handphone. Lalu, teringat, malam Natal kemarin (24 Desember 2016), banyak orang yang unggah status "Merawat Kedamaian"

Merawat Kedamaian by DarrenHester

Tetapi, rasa bersyukur untuk setahun yang telah dilewati, tahun 2016, itu wajib. Setahun itu tidak lama. 360 hari itu sangat sedikit. Rasa-rasanya begitu. Pada hari-hari yang telah pergi itu, ada peristiwa-peristiwa hidup yang terjalani: baik yang berujung bahagia maupun yang berujung kurang beruntung-gagal, sedih, air mata. Di 2016, semuanya tersedia. Tak cukup lah satu badan blog ini untuk dituliskan semuanya. Alam, ah, di penghujung tahun, hujan dia hadiahkan di bumi Nuca Lale. Yang ke Gereja pada malam Natal dan dua hari setelahnya mengeluhkan hal yang sama; hujan, basah, dingin. Untuk yang terakhir, tak perlu lah dijadikan keluhan.

Tanpa hujan, Ruteng tetaplah dingin. Kabar baiknya Natal ternyata bukan hanya perayaan Gereja di Ruteng. Natal tidak hanya tentang kue-kue lezat di meja tamu. Tetapi, Natal itu senang, sukacita, damai. Bukankah saat Natal kita saling bersalaman, berjabat tangan? Itu damai. Damai sekali. Bahkan, kerap rasa bersalah itu timbul saat tidak lejong Natal di keluarga-keluarga, di kenalan, di sahabat-sahabat atau orang terkasih lainnya saat Natal itu tiba. Itu penuh damai, kan? Memunculkan rasa bersalah saja, sudah wujud keintiman kita pada kedamaian; fisik dan batin, jiwa dan raga dengan.

Saya percaya, kedamaian saat Natal bukanlah kemunafikan. Atau sekedar ritual bersalam-salaman dengan sesama. Dia asli, tidak dibuat-buat, atau tidak berpura-pura damai demi tuntutan tradisi Natal. Di saat Natal tiba, kita bahkan mendatangi orang lain untuk menebar kedamaian. Bukan pula karena terpaksa itu dilakukan. Natal memang dilahirkan sebagai damai. Kadang, di situ saya merasa Ruteng begitu baik bagi orang-orang di dalamnya.

Setelah tebar kedamaian saat Natal, ada lagi waktu lain yang lebih banyak menawarkan damai; Tahun Baru. Jelang pergantian tahun, biasanya, di rumah-rumah hening yang dihadirkan. Duduk melingkar, mata terpejam, berdoa bersama. Intinya, terimakasih untuk setahun yang telah lewat. Begitu setianya kita di Ruteng pada kedamaian. Panggilan jiwa untuk masuk ke suasana kedamaian itulah titik beratnya. Menjadi berat jika, damai di saat Natal, damai di malam tahun baru itu, kembali menjelma menjadi dengki, amarah, konflik dan berkelahi setelah tanggal baru di tahun baru tiba.

Maka, merawat kedamaian itu biarlah menjadi pekerjaan terus menerus. Tidak karena ritual "lejong Natal" saat Natal, atau tidak juga karena duduk rame-rame di malam tahun baru. Merawat kedamaian perlu untuk jadi pekerjaan terus menerus; saban hari, saban bulan, hingga menemukan Natal-Natal dan banyak malam tahun baru lainnya.

Selamat Natal 25 Des 2016, Selamat Tahun Baru 2017. Tuhan Menyertai kita semua. Amin

Rabu, 09 November 2016

"Peraih Nobel Fisika 2016" dan Diskusi Fisika



"Peraih Nobel Fisika 2016" dan Diskusi Fisika


Jalan di Ruteng masih basah. Hujan baru saja reda, setelah sejak semalam mengguyur. Saya duduk di ruang makan, sendiri, menikmati keriuhan keponakan yang sedang bermain. Ada teh manis di meja. Masih hangat. Ada juga beberapa potong Cucur di piring putih, persis di samping gelas teh.

Dari samping rumah, saya mendengar ada suara memanggil. Lita datang lewat samping rumah, hendak masuk lewat pintu belakang. Hal yang memang telah menjadi kebiasaan Lita jika berkunjung ke rumah, sejak masa kecil.

Lita bukan orang baru di rumah kami. Dia sudah sering datang ke rumah sejak kami, dia dan saya duduk di bangku SD.

Mata saya tertuju ke pintu. Mau tahu, Lita bawa apa. Biasanya dia bawa pucuk labu. Kadang-kadang, dia juga bawa picai yang dipetik langsung dari kebun mereka di belakang rumah. Tetapi kayaknya, kali ini dia tidak bawa buah atau sayuran. Kali ini dia bawa Koran. Harian Umum Kompas. Dia lalu lebih dahulu menyapa, setelah satu langkahnya melewati pintu.

Oe..kau ada buat apa?”
“Ada duduk-duduk saja e. Kau datang dari?”
“Dari sekolah. Kami ada kegiatan sore”
“Kau tidak bawa sayur lagi, kah?”
Aeh, itu kau sudah. Tidak mungkin saya bawa pucuk labu ke sekolah. Bikin malu”

Kami tertawa. Kami senang karena kebiasaan dan gaya komunikasi sejak masa kecil tidak berubah. Diksi dan penekanan pada tiap katanya juga tidak ada yang berbeda. “Kau datang dari?” yang maksudnya “Kamu dari mana?”. “Kau ada buat apa?” maksudnya “Kamu sedang apa?” atau “What are you doing?” dalam Bahasa Inggris. Begitu lah kami sejak kecil. Akrab, dekat, bersahabat dan saling mengunjungi.

“Kau sudah baca ini?”
“Memangnya apa itu?”
“Koran. Tapi bagus diap isi e. Ada berita Peraih Nobel Fisika 2016 ”
“Kah? Mana de?”

Saya buka lembar demi lembar Koran yang Lita bawa. Di halaman belakang, di kolom sosok, tampak tulisan berjudul Pembuka Rahasia Materi ”Eksotis.” Tulisan itu cukup panjang, selayaknya artikel Kompas pada umumnya.

Ole, ini yang mereka bahas Minggu lalu e”
“Siapa? Kau mengerti Fisika memangnya kah?” ujar Lita dengan sedikit tersenyum. Dia menyindir. Dia tahu betul, saya memang bukan peminat dunia ilmu eksakta, seperti Matematika, Kimia dan Fisika. Di kelas III SMA, saya memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial.

Saya tak menghiraukan komentar-komentar sinisnya. Pikiran saya langsung lari ke diskusi di group diskusi online yang semua anggotanya adalah guru, dari tingkat SD sampai SMA. Minus dosen.

Dua minggu lalu, ada seorang anggota group yang menanyakan peraih Nobel Fisika tahun 2016. Dia memang guru Fisika di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, hingga tiga hari setelah pertanyaan itu ditebarkan di group, ia tidak kunjung mendapatkan jawaban. Tidak ada seorang pun yang merespon dan memberi jawaban.

Seminggu setelahnya, group itu kembali ramai postingan. Diawali dengan gambar kutipan kata-kata bijak, ayat-ayat kitab suci, dan meme-meme lucu dan diakhiri dengan saling menanyakan kabar di tempat masing-masing.

Entahlah. Group itu seperti sekedar tempat berkumpul di dunia maya dan saling menanyakan kabar. Hanya sampai di situ. Jarang sekali ada diskusi tentang pendidikan atau persekolahan. Padahal, semua di group itu adalah pengajar dan pendidik. Bagian dari keluasan wawasan para guru zaman sekarang? Ehhem..

Pun jika ramai, lagi-lagi, tidak ramai karena membahas tema pendidikan: tingkat dasar dan perguruan tinggi, atau soal motivasi belajar siswa yang saban hari kami didik, perubahan kurikulum, atau soal pergantian menteri pendidikan. Kebanyakan, masih tentang saling menyapa dan menciptakan kelucuan.

Sekali waktu, ramai riuh diskusinya tentang satu tema; Ahok. Silang pendapat dan puja-puji politik Ahok berseliweran di group itu. Sumber-sumber bacaan mereka dibagikan di group, yang tentunya, tak ada satu pun yang membacanya. Foto, apalagi. Banyak sekali yang dibagikan. Agama, sudah pasti dilibatkan.

Sampai jam makan siang, diskusi itu masih tetap ramai dengan tema #PilkadaDKIJakarta. Rasa-rasanya, group itu sudah seperti group analisis pilkada Jakarta versi guru. Bukti kehebatan analisis?

Ujaran kebencian tentu juga berhamburan di group. Tentu itu soal agama, yang kini tengah menjadi perhiasan utama Pilkada DKI Jakarta menyusul adanya dugaan ‘penistaan agama’ yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama, kandidat petahana Pilkada DKI Jakarta.

Diskusi juga menyerempet hingga ke urusan si pemakai Topi Songke pada aksi ormas Islam di Jakarta. Mayoritas anggota group melihat adanya pelanggaran budaya dalam pengenaan Topi Songke oleh si peserta aksi. Pelanggaran budaya adalah?

Hingga akhir diskusi, pertanyaan itu tidak dijawab dengan objektif atau berdasarkan penjelasan ahli budaya. Jawaban yang dimunculkan tidak lebih dari sekedar berasumsi. Asumsinya pun negatif. Hellooo?

Mungkinkah ada yang-karena tidak mengenal Ahok dan tidak pernah mau tahu tentang urusan agama orang lain-akan tersinggung? Group itu sama sekali tak mempertimbangkan hal itu.

Ah, sudahlah. Tidak perlu dilanjutkan. Yang jelas, saya baru saja mengantongi jawaban yang akan saya tulis di group itu untuk menjawab pertanyaan tak terjawab pekan lalu. Tentang Peraih Nobel Fisika 2016. Meskipun, informasi yang akan saya bagikan nanti tidak memenuhi syarat sebagai berita (news)- kebaruan-sebagaimana yang dulu dijelaskan oleh seorang "teman lama."

Peraih Nobel Fisika 2016

Peraih Nobel dalam bidang Fisika (Physics) tahun 2016 adalah David James Thouless, Frederick Duncan Michael Haldane dan John Michael Kosterlitz. Dalam konferensi pers Komite Nobel di Swedia, Selasa (04/10/2016), disebutkan bahwa ketiga ilmuwan tersebut telah membantu masyarakat dunia dalam 'membuka pintu ke dunia yang tidak diketahui,’ seperti yang dilansir BBC; Nobel Fisika dianugerahkan kepada tiga ilmuwan asal Inggris.

Ketiga ilmuwan kelahiran Inggris itu berhasil membuka rahasia sifat-sifat fisika pada materi yang amat tipis atau berbentuk benang. Thouless mendapatkan penghargaan lebih besar karena dia memberikan kontribusi pada dua hal yang menentukan, yaitu soal transisi fase-fase dan fase-fase materi (Kompas Cetak, 06 Oktober 2016).


David J. Thouless adalah peneliti kelahiran Bearsden, Inggris, 21 September 1934. Ia adalah seorang profesor emeritus pada University of Washington, Amerika Serikat, dan telah kembali ke Inggris. Thouless mendapatkan penghargaan lebih besar dalam penilaian Nobel Prize 2016 karena dia memberikan kontribusi pada dua hal yang menentukan, yaitu soal transisi fase-fase dan fase-fase materi, dalam “for theoretical discoveries of topological phase transitions and topological phases of matter.”

Sedangkan, Frederick Duncan Michael Haldane lahir di London, 14 September 1951 adalah seorang profesor di Princeton University, Amerika. Dan John Michael Kosterlitz adalah seorang professor fisika di Brown University, Amerika.

Dalam dokumen penjelasan pada laman resmi nobelprize.org, dijelaskan bahwa “David Thouless, Duncan Haldane, and Michael Kosterlitz have used advanced mathematical methods to explain strange phenomena in unusual phases (or states) of matter, such as superconductors, superfluids or thin magnetic films. Kosterlitz and Thouless have studied phenomena that arise in a flat world – on surfaces or inside extremely thin layers that can be considered two-dimensional, compared to the three dimensions (length, width and height) with which reality is usually described. Haldane has also studied matter that forms threads so thin they can be considered one-dimensional.”

Kompas menulis, dengan menggunakan topologi, ketiga fisikawan itu mendapatkan hasil yang mengejutkan yang memicu penelitian-penelitian lanjutan. Topologi menjelaskan sifat-sifat yang tetap sama ketika sebuah obyek berubah bentuk dengan ditekan, dibengkokkan, atau dipuntir, tetapi bukan saat obyek pecah. Secara topologi, sebuah bola dan mangkuk memiliki kategori yang sama karena yang satu bisa berubah bentuk menjadi bentuk lain.

Diskusi Fisika

Saya seorang guru, namun tidak cukup ilmu untuk membahas ilmu fisika melalui blog sederhana ini. Penyesalan tentu ada. Saat di sekolah (dari tingkat dasar hingga di perguruan tinggi), minim sekali minat untuk mempelajari atau menggeluti dunia ilmu eksakta. Hasilnya, ya sekarang. Harus berusaha keras untuk mendalami setiap tulisan beraroma eksakta.

Tetapi, begini. Ini beberapa pertanyaan yang saya tulis usai membaca berkali-kali (karena tidak paham tentunya) tulisan di Koran yang Lita bawa sore itu. Mari tengok media sosial kita, orang Manggarai. Berapa banyak group diskusi online yang dibuat untuk membahas topik pendidikan? Tentang Fisika, berapa banyak? Tentang Matematika, berapa banyak? Tentang Kimia, berapa banyak? Lalu, ada berapa banyak komunitas yang fokus membahas ilmu eksakta?

Rata-rata, komunitas diskusi online itu adalah komunitas diskusi politik. Politik pemilu, politik pembangunan, promosi calon kepala daerah dan calon anggota legislatif. Silang pendapat di dalamnya juga seru, sama serunya dengan diskusi di group diskusi yang saya ikuti di atas: ramai diskusinya, sepi kontribusi bagi pendidikannya.

Tentang Peraih Nobel Fisika 2016 itu, apakah pernah ini menjadi diskusi serius di kalangan pendidik dan pengajar dan di kalangan siswa SMA jurusan IPA? Firasat saya, ehhem, informatif saja yang didapat. Soal siapa meraih apa. Keutuhan penjelasannya akan dijadikan tugas peserta didik, di luar kelas. Mereka mencari? 

Demikian pula blog ini. juga tidak bisa membahas keutuhan penjelasan di balik peraihan Nobel Fisika 2016 karena buta bahasa Fisika.

Nota: Penjelasan yang ditulis utuh dalam Bahasa Inggris sengaja dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam menerjemahkan penjelasan sebenarnya tentang karya ketiga peraih Nobel Fisika 2016. Jujur, saya bukan guru Bahasa Inggris. Salom

Sabtu, 05 November 2016

Radiogram untuk Tuhan

Jauh di Amerika sana, sedang terjadi keseruan #PilpresAmerika antara Donald Trump dan Hillary Clinton. Perdebatan dan kampanye keduanya selama ini sudah seperti perang terbuka: saling menyerang secara terbuka di medan terbuka dengan senjata pemungkas masing-masing. Kata-katanya, aduh mama sayang e, mulai dari tuduhan sampai hujatan dilontarkan di muka umum. Saya senang, karena mereka blak-blakan tentang kepentingan mereka.

Dengan begitu, rakyat Amerika bisa lebih tahu watak, karakter, kemampuan dan kepentingan dua kandidat yang tampil itu. Tetapi, di Amerika, itu sudah biasa. Sepedis apapun kata-kata yang diungkapkan, mereka menerimanya sebagai bagian dari ujaran politik mendayung dukungan dan simpati.

Di Indonesia, perdebatan politik seterbuka Amerika itu tidak sering dijumpai saat pemilu. Ada saja alasan untuk tidak terjadi perdebatan seperti itu. Bisa jadi karena kandidat-kandidat presiden di Indonesia pintar membungkus kecaman, ujaran kebencian, tuduhan, fitnah dengan kata-kata manis(?) Atau mungkin karena aturan kampanye di Indonesia mewajibkan kita untuk sopan meski berbohong? Atau, oh iya, kandidat-kandidat presiden di Indonesia adalah komunikator politik yang hebat menyematkan kepentingan politiknya di tiap jengkal kalimat dan kata yang diucapkan? Membungkus kemunafikan dengan kata-kata manis?

Silahkan menambah daftar pertanyaan, sekaligus jawabannya jika ada kesempatan membandingkan kandidat Pilpres di Amerika dan di Indoensia. Hanya saja, yang jelas, di dunia politik Indonesia, para politisi-nya sangat hebat dalam menyembunyikan misteri politiknya lewat kata-kata bijak, kata-kata motivatif dan inspiratif. Susah sekali bagi politisi di Tanah Air untuk mengatakan fakta sebenarnya, atau yang orang bilang “bicara apa adanya.”
Radiogram untuk Tuhan
Photo: QSL. net

Tentang keseruan tadi, di Amerika konsentrasi rakyatnya tertuju pada keseruan Pilpres. Sementara, di Indonesia, konsentrasi rakyatnya masih tertuju pada keseruan tema A G A M A. Ya. Lihat saja di beranda media sosial orang-orang itu. Tema utamanya hanya berkaitan dengan urusan Agama, Tuhan dan Kitab Suci. Mulai dari caci maki hinga puji-pujian, tumpah ruah di beranda media sosial.

Di kota kecil ini, keseruan itu juga bergulir di banyak ruang diskusi publik. Baik yang digelar secara formal maupun ruang diskusi informal: santai, tidak terencana, tidak sengaja terjadi. Rata-rata, berangkat dari kecemasan, kekhawatiran, kekalutan yang dalam. Media sosial pun jadi media utama pelampiasan berbagai kecemasan yang berujung caci maki itu. Apalagi di group-group diskusi online.

Apakah Tuhan mendengarkan diskusi-diskusi itu? Kata iklan, may be yes, may be no! Feeling saya mengatakan Tuhan tidak mau mendengar. Tetapi, sudahlah. Yang menganggap diskusi-diskusi seperti itu berguna, tentu akan terus diminati, diikuti dan dilakukan. Kami, beberapa teman dan saya, yang tidak doyan dengan tema diskusi itu akan tetap menghormati ketertarikan tema yang cukup membosankan itu.

Tetapi, pagi kemarin, ada ide yang tiba- tiba muncul, cling di kepala. Tentang radiogram untuk Tuhan. Bagaimana jika semua bahan diskusi seru tentang agamamu dan agamaku itu dituliskan pada sebuah kertas putih, lalu dikirimkan ke radio lokal terdekat, dijadikan Radiogram untuk Tuhan?

Dengan pengandaian begini: kalau menggunakan media sosial, facebook misalnya, kita bisa saja dianggap pengguna palsu. Lazimnya, dicap akun palsu. Atau, kalau pakai twitter, akan dianggap sebagai buzzer politik.

Agar jauh dari kecaman-kecaman tak berdasar itu nantinya, sebaiknya kita gunakan cara yang sederhana: Radiogram untuk Tuhan. Isi radiogramnya juga tak perlu terlalu panjang;

Dari: Molas Hombel, dan kawan-kawan
Untuk: Tuhan, di mana saja Kau berada
Isi:
Tuhan, agamaMU apa?
Jika kita seagama, haruskah Kau kubela?
Apakah Kau pernah menghakimi pemeluk agama yang tak seagama denganMU?
Terimakasih, Tuhan

Radiogram singkat ini bisa secara langsung dikirimkan ke Stasiun Radio terdekat untuk dibacakan. Adakah Tuhan akan mendengar?

Kamis, 03 November 2016

Menghakimi Tuan Raja

Di luar, hari masih gelap. Masih berat bagi seorang Meliyah memindahkan tubuhnya dari tempat tidur, bangun dan pergi. Dia tahu, pun jika ia telat, jalanan hari itu akan sepi. Akan ada aksi besar-besaran di tengah kota hari itu.

Biasanya, jika ada demonstrasi di tengah kota, polisi akan mengalihkan arus lalu lintas agar tetap lancar. Dia tidak akan terlambat bekerja hari itu.
Menghakimi Tuan Raja
Photo: Unsplash Photo
Meliyah lahir-besar di sana, di kota yang tak pernah berkurang kesemrawutannya itu. Saat ia duduk di bangku SMP, ia pernah mengukir kegelisahannya tentang kota kelahiranya itu dalam Cerpen; “Kota Bikin Susah!” Cerpen itu membuatnya terkenal, karena selain dipajang di majalah dinding sekolah-membawahi barisan cerpen kakak kelasnya-juga dimuat di sebuah Koran ternama di kota berpenghuni 200.000 jiwa itu.

“Kak, tukang buburnya di depan,” sahut Lintang, adiknya, dari luar pintu yang setengah menganga.

Setalah menyahut, Lintang berlalu. Pergi kembali ke kamarnya. Di tangannya ada semangkok bubur ayam.

Meliyah masih belum beranjak. Tubuhnya masih kaku di atas kasur. Matanya masih ditutup rapat. Ia hanya menunggu pagi tiba. Terang, panas.

“Mari, bapak dan ibu sekalian, kita ikut aksi di depan istana Tuan Raja hari ini. Kita kecam perilaku Tuan Raja yang sombong itu. Mari Bapak Ibu, hari ini kita seret Tuan Raja iblis itu ke jalanan!” berulang kali, suara itu menggelegar dari halaman kompleks, kawasan perumahan tempat tinggal Meliyah.

Selain suara pembicara yang amat keras, volume dari alat pengeras suaranya juga sangat tinggi. Suara itu menggangu warga di kompleks tempat tinggal Meliyah.

Tidak sedikit yang keluar rumah. Ibu-ibu lanjut usia ikut mengintip dari balik pagar. Hanya mengintip. Diam.

Suara itu makin keras. Meliyah bangkit, menengok keluar lewat jendela kamar. Persis di depan rumahnya, orang-orang itu berhenti. Ada yang duduk di jalan, ada yang berdiri, di pandu oleh sebuah mobil pick up berwarna hijau.

Meliyah tahu, orang-orang itu adalah demonstran yang akan melakukan aksi demonstrasi di depan istana Tuan Raja, pemimpin kota mereka, hari itu. Sejak dahulu, orang-orang itu dikenal bandel membayar pajak. Mereka menolak pungutan pajak oleh penguasa di kota itu.

“Tentang pajak, seperti sudah jadi tradisi kota ini. Aku sedih.” Sahut Lintang dari kamar sebelah.
“Tak usah digubris. Mereka hanya sedang menyampaikan pendapat.” Jawab Meliyah.

Meliyah keluar kamarnya dan menghampiri Lintang. Aroma bubur ayam di tangan Lintang memanggilnya. “Mereka kalau digubris akan semakin menjadi-jadi. Jadi, kita biarkan saja” kata Meliyah sambil meliuk-liukan sendok di dalam mangkok bubur ayam di tangan Lintang. Lintang, adik satu-satunya itu, baru menghabiskan setengah mangkok bubur ayamnya.

“Pendapat? Mereka tidak hanya menuntut penghapusan pajak. Mereka juga menuduh Tuan Raja sebagai keturunan monyet” pungkas Lintang
“Oh, ya?” Meliyah menanyakan itu terburu-buru dengan bibir yang masih bergerak kepanasan setalah setengah sendok bubur ayam masuk ke mulutnya.
“Di kampusku, kami pernah menggelar diskusi tentang kelompok ini. Seorang sosiolog pernah melakukan penelitian tentang kelompok ini. Dari penelitian itu lah aku tahu kalau mereka tidak hanya menuntut penghapusan pajak. Mereka juga menuding Tuan Raja keturunan monyet. Bukan manusia” Lintang bercerita kepada kakaknya

Lintang melanjutkan, “Temanku juga membenarkan. Dia juga mengatakan hal yang sama. Ayahnya pernah bergabung dengan kelompok ini, tetapi keluar lagi karena terkena Liver. Katanya, di sana tidak pernah ada pembahasan dan kajian tentang pajak. Mereka juga tak dibekali panduan atau referensi khusus tentang pajak”
“Lalu?” Meliyah menyela.
“Lalu, ya, begitu lah. Hampir pasti, setiap hari ada sembahyang bersama, dan makan bersama. Saat berdoa, mereka melantunkan doa-doa agar Tuan Raja cepat enyah dari muka bumi, karena dianggap titipan setan” Ujar Lintang

Bubur di mangkok belum habis. Sudah dingin pula, karena telah berkali-kali dijedahi bait-bait obrolan. Di depan rumah, suara orang-orang tadi masih menggelegar bunyinya. Sebagian yang tadinya duduk di jalan, kini berdiri sambil meneriakkan yel-yel, “Turunkan Raja Setan. Basmi Raja Keturunan Setan.”

Telinga Meliyah dan adiknya harus bekerja keras; mendengar lawan bicara di depan muka, dan menerima teriakan dari kelompok berbusana jingga itu.

“Ini namanya menghakimi Raja. Bukan menuntut penghapusan pajak,” ucap Meliyah
“Aku juga berpikir demikian, ‘Kak. Aku tahu alasan penghakiman ini. Kata temanku, mere…”
Ssstt..Stop. Sebentar!” Meliyah menghentikan pembicaraan adiknya. Pandangannya tertuju pada kerumunan massa. “Ini bagian pentingnya. Kita dengarkan dulu.” Kata Meliyah.

“Ibu dan Bapak sekalian, kami perlu membicarakan secara terang benderang di jalan ini. Hari ini kami akan menggelar demonstrasi besar-besaran di istana. Kami muak dengan Tuan Raja. Dia adalah titipan setan. Dia manusia berjiwa iblis. Istrinya adalah hantu, anak-anaknya itu anak iblis. Mengapa demikian? Anggota kelompok kami akan menjelaskannya kepada bapak dan ibu sekalian” teriak seorang wanita, tinggi, yang tengah berdiri di atas mobil. Suaranya sangat keras.

Setelah dia mengatakan hal itu, tampak seorang pemuda dari barisan orang-orang itu maju, berdiri tepat di samping wanita itu.

“Kami mendapatkan bukti-bukti otentik bahwa Tuan Raja kita adalah seorang iblis. Setan. Kami pernah melihat dia ke sebuah gedung tua di sudut kota bersama istri dan kedua anaknya. Di depan gedung itu ada menara lonceng. Mereka masuk ke sana, dan menyanyikan doa-doa setan. Mereka berlutut, seperti menyembah makluk gaib saat lonceng dibunyikan. Ada banyak orang yang yang bersama mereka. Orang-orang itu adalah setan. Kami tidak asal bicara, Bapak Ibu sekalian. Kami memiliki sejumlah bukti bahwa Tuan Raja adalah titipan setan. Iblis. Betul saudara-saudara?”

“Betuuuuul.” teriak orang-orang yang berbaris, sambil mengangkat tangan kiri yang mengepal.

Tak lama setelah pidato singkat pemuda itu, kerumunan orang-orang itu lalu bergegas pergi, berjalan keluar kompleks perumahan itu sambil terus meneriakkan yel-yel. Salah satunya, “Turunkan Raja Setan. Kami tak mau Dipimpin Iblis!” Warga yang tadi mengintip dari balik pagar kembali ke rumah masing-masing. Tapi tak ada yang berkomentar, atau ikut berteriak menyahut yel-yel barisan orang-orang itu.

“Benar. Ini namanya menghakimi Tuan Raja. Bukan tuntuan penghapusan pajak. Saya tak percaya sama sekali jika kepentingan utama mereka adalah penghapusan pajak di Kota ini. Ini subyektif. Menyerang pribadi” Ujar Meliyah.

Meliyah teringat selembar kertas selebaran yang berisikan sejumlah penjelasan tentang pajak yang didapatkannya beberapa hari yang lalu. Di jalan, saat ia menunggu lampu hijau menyala di simpang empat di depan istana Raja, ia mendapati beberapa remaja tengah membagikan selembar kertas. Seperti sebuah materi kampanye.

Ada penjelasan tentang pajak dan beberapa perilaku Tuan Raja, pemimpin kota. Ada juga penjelasan tentang asal usul Tuan Raja di dalamnya. Meliyah juga mendapat jatah selembar. Ia menceritakan hal itu kepada adiknya.

“Kertas itu tidak menjelaskan tentang gedung bermenara lonceng di halamannya. Tidak sama sekali. Di dalamnya lebih banyak berisi seruan agar rakyat se-kota ini tidak menghendaki Tuan Raja memimpin lagi” Meliyah berkisah kepada adiknya.

“Aku semakin curiga, mereka ini adalah orang-orang bayaran pihak tertentu, Kak” Ujar Lintang, tiba-tiba.
“Bayaran? Orang-orang bayaran?”
“Ya"
"Siapa yang berniat membayar mereka yang jumlahnya sebanyak ini?”
“Mungkin saja saudagar-saudagar di kota, Kak. Mereka ingin menduduki istana agar bisnis gelap mereka berjalan mulus di kota kita”
“Sulit dibuktikan. Tetapi, bisa jadi benar. Dosenku dulu pernah bilang, aktor intelektual setiap konflik selalu menyembunyikan dirinya agar tak ketahuan. Tuan Raja dalam bahaya?”
“Tidak juga, Kak. Warga kota masih bersimpatik pada kepemimpinan Tuan Raja

Setelah percakapan itu, Meliyah kembali ke kamarnya. Di luar, matahari kian tinggi. Pertanda sudah hampir siang. Meliyah harus segera berangkat ke tempat ia bekerja.