Sabtu, 10 September 2016

Mimpi Kemajuan Pendidikan di Kenggu

Kenggu akan tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan di Molas Hombel. Ia membekas, tidak hanya di tulisan tetapi juga di pelukan ingatan. Di Kenggu juga pernah ada mimpi kemajuan pendidikan, yang terefleksi dari pengalaman langsung di SDI Kenggu, tempat saya pertama kali mengabdikan diri sebagai guru.
SDI Kenggu Manggarai
Sekolah Dasar Inpres (SDI) Kenggu, Kecamatan Satar Mese Barat, Kab. Manggarai-Flores| Photo: Kemendikbud.go.id

Usai menyelesaikan studi di perguruan tinggi, saya bekerja menjadi guru di sebuah Sekolah Dasar (SD) di desa yang cukup jauh dari Ruteng, Manggarai. Di desa itu hanya ada satu sekolah dasar. Bangunan sekolah itu sudah tua. Atapnya banyak yang rusak. Padahal, sekolah itu menampung murid dari kurang lebih empat anak kampung di desa itu. Kondisi sekolah itu jauh berbeda dengan sekolah dasar yang berada di tempat tinggal saya, Ruteng.

Di Ruteng, sebagian besar bangunan sekolahnya bagus, rapi. Kalau rusak, pasti segera diperbaiki-mendapat bantuan dari pemerintah daerah dalam waktu yang cepat dan diperbaiki secepat mungkin. Setidaknya, itu yang klik di kepala saat hari pertama tiba di desa itu, Juni 2008.

Jaringan penerangan (baca: listrik) belum tersambung. Jangan lah kita bicara jaringan Broadband, WiFi di sekolah itu. Tidak ada jaringan internet sekaliber itu di sana.

Di dalam kelas, terlalu naïf untuk mengharapkan adanya laptop dan proyektor sebagai pendukung pembelajaran, sebagaimana yang dipakai guru-guru SD di banyak tempat lain di Indonesia. Di sekolah itu, kami masuk, berdiri di depan kelas, mengajar sambil menulis di “papan tulis hitam”, menjelaskan materi pelajaran dengan suara yang cukup keras. Saat kami menulis, murid-murid mencatat. Begitulah pendidikan itu terjadi di dalam kelas saban harinya di sana.

Wilayah Kenggu Manggarai
Pelangi di Kebun warga Kenggu | Photo: Istimewa

Selama di sana, saya tinggal di sebuah rumah milik sekolah. Rumah itu sudah lama dibangun pihak sekolah untuk keperluan tempat tinggal guru pegawai negeri sipil yang ditugaskan di sekolah itu. Letakknya persis di bagian timur sekolah. Konon, kisah warga setempat, pembangunan rumah itu adalah salah satu bentuk program peningkatan kesejahteraan guru pada era Presiden Soeharto. Di rumah itu, saya tinggal dengan seorang rekan guru. Perempuan. Ia seangkatan saya di kampus, bahkan telah bersahabat lama sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Kami berdua sama-sama tidak berasal dari desa tersebut. Rumah kami semuanya di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai. Kami pulang ke Ruteng hanya saat liburan. Jarang sekali kami menghabiskan akhir pekan kami di Ruteng. Kami merasa betah di desa itu. Bahkan, kami sangat senang jika mendapat undangan dari warga sekitar untuk menghadiri acara pernikahan atau acara-acara lain di kampung sekitar. Dengan begitu, kami semakin mengenal wilayah itu, mengakrabkan diri dengan warga kampung sekitar dan mengambil bagian dalam keseharian mereka.

Awal tiba di sana, jujur, kami memang sering geram. Signal handphone susah. Apalagi biara internet. Kami sulit berkomunikasi dengan sahabat via telephone. Pun jika bisa terhubung, hanya pada malam hari. Itu pun, kadang hilang, kadang muncul signalnya. Jangan bicara soal media sosial yang saat itu sedang jadi trend kalangan bujang untuk berkomunikasi dengan banyak sahabat. Ah, jauh sekali dari urusan media sosial di tempat itu. Itulah alasannya, mengapa beranda facebook dan twitter saya tak banyak menyimpan kenangan selama di Kenggu. Apalagi nge-blog. Padahal, Molas Hombel sudah ada saat itu. Media sosial hanya bisa diakses saat kami pulang ke Ruteng.

Kami tak banyak komentar dengan situasi di rumah maupun di sekolah yang serba kekurangan itu. Kami sungguh menikmati semua yang tersedia di sana. Kami bahkan mulai merasa betah dan akrab dengan warga setempat. Inspirasi dan latarbelakangnya cerita-cerita orang tua yang telah terbenam lama di kepala, tentang sekolah, tentang pendidikan dan tentang perkembangan guru-guru zaman mereka. Alm. ayah sering membungkus situasi itu dengan kalimat, “Dulu, diiznkan sekolah oleh orang tua saja syukur dan girangnya minta ampun.”

Ayah jelas benar soal itu. Dulu, di era mereka, kesadaran banyak orang akan pentingnya pendidikan masih minim. Sekolah bahkan dianggap omong kosong, pendidikan hanya membebani para orang tua. Kesadaran itu perlahan patah seiring masuknya misionaris-misionaris Katolik di daratan Flores dan Timor pada awal abad ke 19. Mereka membangun sekolah-sekolah, mewartakan Injil dan menumbuhkan kesadaran pentingnya pendidikan. Meski serba sulit dan penuh kekurangan, harus diakui, proses pendidikan era itu telah bersumbangsih besar bagi Flores, NTT hari ini.

Anak-Anak Kenggu Manggarai
Tiga bocah sedang asyik duduk di pinggir sawah di Manggarai, Flores. | Photo: Susan K (Flickr)


Dalam berbagai kesempatan, selama mengajar di sana, diskusi tentang kemajuan sekolah sering mengemuka di kalangan guru-guru. Sambil meyeruput kopi saat rehat, kami merencanakan cara-cara tertentu untuk memajukan sekolah itu. Minimal, kondisi sekolahnya bisa diperbaiki dan adanya penambahan fasilitas pembelajaran. Terkhusus, buku-buku pelajaran. Namun, terusterang, berbagai ide kemajuan sekolah itu tak pernah ada yang berwujud realita, bahkan hingga saya meninggalkan sekolah itu pada Juli, 2009, tak ada tanda-tanda berkat kebijakan pemerintah setempat bagi sekolah itu. Saya akhirnya meninggalkan sekolah itu setelah saya diterima bekerja di SDK Cewonikit Ruteng, tempat saya mengabdi saat ini. Saya mulai mengabdi di sekolah ini sejak Januari 2010.

Imaji Kemajuan

Waktu kuliah, istilah transfer knowledge sering sekali masuk di telinga. Jika dikontekskan dengan urusan kependidikan, saya membayangkan situasi dimana murid-murid saya bisa lebih banyak mendapat tambahan transfer knowledge di luar sekolah. Dari orang tua, teman dan lingkungannya. Tentunya, hal itu sangat membantu mereka untuk memahami pelajaran di sekolah yang didapatkan dari para guru. Dampaknya, materi pelajaran yang didapatkan di sekolah bisa lebih cepat dipahami oleh setiap murid. Tetapi, apa mau dikata, itu hanya imaji. Asa yang batal jadi realita.

Murid-murid saya adalah anak-anak desa. Hampir sebagian besar lahir dari orang tua yang bermata pencaharian bertani. Petani tradisional. Latar belakang pendidikan orang tuanya juga rata-rata tak mampu mengimbangi tuntuan kemajuan pembelajaran anak-anaknya. Artinya, tumpuan terbesar peningkatan kemampuan kognitif dan afektif adalah di sekolah, di tangan para guru di sekolah. Kemampuan kognitif berkaitan dengan kemampuan berpikir, sementara kemampuan afektif berkaitan dengan sikap, nilai, perilaku dan emosi. Padahal, bukankah perkembangan pendidik harus juga perlu melibatkan peran orang tua?

Bahkan, jika dihitung, anak-anak sekolah lebih banyak waktunya bersama orang tua di rumah. Di sekolah, mereka bersama guru dan teman-temannya tidak lebih dari 8 jam. Dari pukul 07.00-pukul 13.00 WITA. Untuk itu, kerja keras, kreativitas, kesabaran dan konsistensi para guru menjadi tuntutan.

Tarian Tradisional Manggarai Flores
Tarian tradisional Manggarai, Flores dipentaskan beberapa anak | Photo: Passioniste (Fickr)

Dengan kondisi sekolah dan lingkungan yang seperti itu, para guru, berusaha keras menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dan mampu menjawab tuntutan kontekstual murid dan sekolah itu. Selain metode, faktor bahasa yang digunakan selama pelajaran juga sangat menentukan efektifitas pembelajaran. Terusterang, kami harus sering menggunakan bahasa daerah, Bahasa Manggarai, dalam menyajikan bahan pelajaran. Sedikit sekali waktunya untuk menggunakan Bahasa Indonesia. Sebab, realita murid di sekolah itu lebih dominan menggunakan bahasa daerah dalam kesehariannya dari pada menggunakan bahasa Indonesia. Saat mereka di rumah atau di lingkungannya, mereka bahkan tak pernah menggunakan Bahasa Indonesia. Mereka lebih sering menggunakan Bahasa Manggarai.

Demikian pula saat di sekolah, khususnya di dalam kelas. Dalam percakapan dengan teman-temannya, mereka tidak menggunakan Bahasa Indonesia. Mereka menggunakan Bahasa Manggarai. Ya, kira-kira begitu lah saban hari situasi di sekolah itu. Selain urusan bahasa, lingkungan desa itu bukan lingkungan melek internet. Pengguna smartphone tidak banyak. Warnet? Oalah, jangan lah ditanyakan. Nihil. Ya, bagaimana bisa akses internet, listrik saja susah. Jauh lah perbedaanya dengan lingkungan anak sekolah di Jawa dan Bali, bukan?

Guru-guru di sekolah itu juga tak banyak yang menggunakan smartphone. Padahal, jika dipikirkan, sebagian besar informasi dan perkembangan pendidikan-termasuk kebijakan pendidikan nasioal-selalu viral lewat internet, bukan? Kondisi itu seakan-akan membuat kami memandang kemerdekaan hanya sebagai dongeng sejarah. Bukan realita kekinian.

Bersambung