Senin, 03 Oktober 2016

Mengendalikan Emosi dengan Menulis

Waktu menunjukkan pukul 09.00. Bangku-bangku di aula itu masih banyak yang kosong. Belum ada peserta yang datang. Padahal, dalam undangan, seminar itu dilaksanakan pada pukul 08.00. Di ruang tunggu, di samping panggung utama, para narasumber juga telah hadir satu jam yang lalu.

Ketua Panitia, Shiny, mengundang kami lewat Group Whatsapp untuk membicarakan kondisi itu. Kami semua berkumpul di belakang aula tempat kegiatan, di ruangan kecil yang juga dipakai untuk menyimpan snack untuk para peserta.

“Bagaimana hal ini bisa terjadi. Saya bingung” Shiny berkata-kata dengan nada tinggi. Kami diam. “Coba dilaporkan dulu, sejauh mana para peserta dikonfirmasi” Ia melanjutkan.

Kegiatan itu molor satu jam dari waktu yang tertera dalam undangan. Shiny benar-benar marah. Dia tak menduga akan terjadi seperti ini. Shiny memang baru kali ini dipercayakan menjadi ketua panitia acara yang mengundang peserta lebih dari 100 orang. Ini taruhan potensi dan ketokohan. Setidaknya, dia harus menunjukkan hasil yang dapat membuatnya kembali dipercaya pada event-event besar lainnya di lain waktu.

Beberapa anggota panitia yang bertugas mengonfirmasi kehadiran peserta langsung bekerja. Mereka menghubungi para peserta, satu per satu. Tetapi, tidak bisa dibantah, seluruh anggota panitia acara itu dalam keadaan panik. Tidak hanya karena peserta yang belum kunjung datang, tetapi juga karena nara sumber yang sudah mulai tak sabar menunggu. Mereka bahkan terus menanyakan apakah seminar itu tetap dijalankan atau dibatalkan.

Seminar itu sebenarnya terselenggara berkat kerja sama antara Komunitas Peduli Kata dengan sebuah bank lokal di sini. Komunitas itu dihuni oleh anak-anak muda dari berbagai latar belakang profesi dan pekerjaan, yang (masih) memiliki minat terhadap dunia kepenulisan. Setelah dibentuk pada 5 bulan lalu, baru kali ini komunitas ini melaksanakan event.

Di event perdana ini, mereka mengusung tema “Menulis Mengusir Emosi”. Seminar ini menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain: Pak Geh, seorang wartawan senior asal Yogyakarta, Mas Yadi, blogger asal Semarang dan Mbak Tantri, seorang psikolog dari Universitas Udayana Bali.

Seminar itu akan menghadirkan banyak peserta, khususnya kalangan remaja, anak-anak sekolah menengah atas dan mahasiswa. Seminar itu mengajak mereka untuk meminati dunia tulis menulis, sambil mengalami pendampingan dan pelatihan melalui komunitas Peduli Kata.
Mengendalikan Emosi dengan Menulis
Kutipan tentang Menulis by @septianhung

“Dari 400 peserta yang telah diundang, kemarin, semuanya sudah kami konfirmasi. Mereka telat karena pagi harinya mereka harus meminta izin ke sekolah dan kampus mereka” tulis Arry di Group WA Panitia Seminar.
“Ok. Terimakasih untuk infonya, Arr. Saya akan yakinkan narsum (baca: nara sumber) terkait hal itu” Shiny langsung membalas.
15 menit setelah percakapan di group itu, gemuruh suara kendaraan roda dua tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Ratusan sepeda motor berarakan menuju tempat kegiatan. Anak-anak SMA yang akan mengikuti seminar memadati jalan. Convoy.

“Banyak sekali yang datang” ketus Effu saambil menggeleng kepala. Seminar akhirnya dimulai setelah setengah dari aula itu dipenuhi kalangan mahasiswa. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari peserta dari kalangan pelajar SMA. Ruangan itu penuh manusia. Panitia senang.

Event itu sebenarnya juga sangat diminati oleh hampir seluruh anggota panitia acara. Ya. Semuanya memiliki bakat menulis. “Mengendalikan Emosi dengan Menulis” tentu bukan diusung tanpa sebab. Apakah menulis berkekuatan untuk mengendalikan, meredam, bahkan membunuh emosi (perasaan) yang tengah galau, sedih, marah? Seminar itu menjawabnya. Bahwa menulis adalah suatu kegiatan memindahkan idea tau gagasan dari dalam pikiran ke sebuah bentuk lain. Tulisan.

Proses pemindahan itu juga memiliki cara-cara tertentu agar tulisan yang dihasilkan bisa diminati para pembaca. Maka, selama proses menulis, kita membutuhkan banyak informasi, kaya akan kata-kata, alur penulisan yang runut dan bisa memberi pesan-pesan tertentu kepada pembaca sehingga bermanfaat bagi pembaca.

Di sini lah kekuatan menulis yang mampu mengendalikan emosi kita. Kita bisa saja menghilangkan rasa marah yang tengah berkecamuk karena kondisi tertentu dalam bentuk tulisan, tanpa harus meluapkannya kepada orang lain atau dalam bentuk yang lebih kasar, yang dapat melukai perasaan orang lain.

Untuk itu, seorang penulis (yang memiliki minat menulis), tentu memerlukan juga banyak sumber bacaan untuk memperkaya wawasanya. Sehingga, saat ia menulis, ia mampu memperkaya tulisannya dengan wawasannya yang dapat membantu para pembaca memahami pesan di balik tulisan yang ia hasilkan.

Dalam seminar itu, ada peserta yang membagikan pengalamannya. Ia mengakui bahwa dirinya sering sulit mengontrol emosinya saat ia marah atau kesal karena kejadian-kejadian tertentu yang memaksannya untuk marah. Tetapi, selama ia belajar dan sering menulis, ia bisa menghindari ekspresi amarah yang berlebihan. Ia mentralisasi kemarahannya dengan cara yang lebih stabil; menulis tentang hal-hal yang menurutnya penting, atau mengekspresikan amarahnya lewat tulisan.

“Saya mungkin pemarah, cepat putus asa jika ada masalah yang menimpa. Tetapi, pengalaman saya, dengan duduk tenang, mencari tema dan mulai menjabarkan gagasan saya dalam tulisan, emosi saya menjadi stabil, kemarahan itu hilang” tuturnya, disambut gemuruh tepuk tangan dari peserta lainnya.

Selama seminar itu, tidak sedikit yang juga meminta tips-tips inspirati dari para penulis agar kegiatan menulis yang mereka jalani dapat menjawab tuntutan penulisan yang benar, santun dan memiliki bobot kualitas yang memuaskan pembaca.

Semua pernyataan dan permintaan peserta dijawab para narasumber dengan sangat lugas, dengan kata-kata yang sederhana. Sebagai panitia, kami pun turut senang dan puas, karena sebagian besar kegelisahan kami dalam urusan tulis menulis bisa terdiskusikan dengan baik dalam kegiatan itu.

Mari menulis. Biar tidak terlarut dalam masalah atau kepanikan sesaat! Semoga!