Kamis, 03 November 2016

Menghakimi Tuan Raja

Di luar, hari masih gelap. Masih berat bagi seorang Meliyah memindahkan tubuhnya dari tempat tidur, bangun dan pergi. Dia tahu, pun jika ia telat, jalanan hari itu akan sepi. Akan ada aksi besar-besaran di tengah kota hari itu.

Biasanya, jika ada demonstrasi di tengah kota, polisi akan mengalihkan arus lalu lintas agar tetap lancar. Dia tidak akan terlambat bekerja hari itu.
Menghakimi Tuan Raja
Photo: Unsplash Photo
Meliyah lahir-besar di sana, di kota yang tak pernah berkurang kesemrawutannya itu. Saat ia duduk di bangku SMP, ia pernah mengukir kegelisahannya tentang kota kelahiranya itu dalam Cerpen; “Kota Bikin Susah!” Cerpen itu membuatnya terkenal, karena selain dipajang di majalah dinding sekolah-membawahi barisan cerpen kakak kelasnya-juga dimuat di sebuah Koran ternama di kota berpenghuni 200.000 jiwa itu.

“Kak, tukang buburnya di depan,” sahut Lintang, adiknya, dari luar pintu yang setengah menganga.

Setalah menyahut, Lintang berlalu. Pergi kembali ke kamarnya. Di tangannya ada semangkok bubur ayam.

Meliyah masih belum beranjak. Tubuhnya masih kaku di atas kasur. Matanya masih ditutup rapat. Ia hanya menunggu pagi tiba. Terang, panas.

“Mari, bapak dan ibu sekalian, kita ikut aksi di depan istana Tuan Raja hari ini. Kita kecam perilaku Tuan Raja yang sombong itu. Mari Bapak Ibu, hari ini kita seret Tuan Raja iblis itu ke jalanan!” berulang kali, suara itu menggelegar dari halaman kompleks, kawasan perumahan tempat tinggal Meliyah.

Selain suara pembicara yang amat keras, volume dari alat pengeras suaranya juga sangat tinggi. Suara itu menggangu warga di kompleks tempat tinggal Meliyah.

Tidak sedikit yang keluar rumah. Ibu-ibu lanjut usia ikut mengintip dari balik pagar. Hanya mengintip. Diam.

Suara itu makin keras. Meliyah bangkit, menengok keluar lewat jendela kamar. Persis di depan rumahnya, orang-orang itu berhenti. Ada yang duduk di jalan, ada yang berdiri, di pandu oleh sebuah mobil pick up berwarna hijau.

Meliyah tahu, orang-orang itu adalah demonstran yang akan melakukan aksi demonstrasi di depan istana Tuan Raja, pemimpin kota mereka, hari itu. Sejak dahulu, orang-orang itu dikenal bandel membayar pajak. Mereka menolak pungutan pajak oleh penguasa di kota itu.

“Tentang pajak, seperti sudah jadi tradisi kota ini. Aku sedih.” Sahut Lintang dari kamar sebelah.
“Tak usah digubris. Mereka hanya sedang menyampaikan pendapat.” Jawab Meliyah.

Meliyah keluar kamarnya dan menghampiri Lintang. Aroma bubur ayam di tangan Lintang memanggilnya. “Mereka kalau digubris akan semakin menjadi-jadi. Jadi, kita biarkan saja” kata Meliyah sambil meliuk-liukan sendok di dalam mangkok bubur ayam di tangan Lintang. Lintang, adik satu-satunya itu, baru menghabiskan setengah mangkok bubur ayamnya.

“Pendapat? Mereka tidak hanya menuntut penghapusan pajak. Mereka juga menuduh Tuan Raja sebagai keturunan monyet” pungkas Lintang
“Oh, ya?” Meliyah menanyakan itu terburu-buru dengan bibir yang masih bergerak kepanasan setalah setengah sendok bubur ayam masuk ke mulutnya.
“Di kampusku, kami pernah menggelar diskusi tentang kelompok ini. Seorang sosiolog pernah melakukan penelitian tentang kelompok ini. Dari penelitian itu lah aku tahu kalau mereka tidak hanya menuntut penghapusan pajak. Mereka juga menuding Tuan Raja keturunan monyet. Bukan manusia” Lintang bercerita kepada kakaknya

Lintang melanjutkan, “Temanku juga membenarkan. Dia juga mengatakan hal yang sama. Ayahnya pernah bergabung dengan kelompok ini, tetapi keluar lagi karena terkena Liver. Katanya, di sana tidak pernah ada pembahasan dan kajian tentang pajak. Mereka juga tak dibekali panduan atau referensi khusus tentang pajak”
“Lalu?” Meliyah menyela.
“Lalu, ya, begitu lah. Hampir pasti, setiap hari ada sembahyang bersama, dan makan bersama. Saat berdoa, mereka melantunkan doa-doa agar Tuan Raja cepat enyah dari muka bumi, karena dianggap titipan setan” Ujar Lintang

Bubur di mangkok belum habis. Sudah dingin pula, karena telah berkali-kali dijedahi bait-bait obrolan. Di depan rumah, suara orang-orang tadi masih menggelegar bunyinya. Sebagian yang tadinya duduk di jalan, kini berdiri sambil meneriakkan yel-yel, “Turunkan Raja Setan. Basmi Raja Keturunan Setan.”

Telinga Meliyah dan adiknya harus bekerja keras; mendengar lawan bicara di depan muka, dan menerima teriakan dari kelompok berbusana jingga itu.

“Ini namanya menghakimi Raja. Bukan menuntut penghapusan pajak,” ucap Meliyah
“Aku juga berpikir demikian, ‘Kak. Aku tahu alasan penghakiman ini. Kata temanku, mere…”
Ssstt..Stop. Sebentar!” Meliyah menghentikan pembicaraan adiknya. Pandangannya tertuju pada kerumunan massa. “Ini bagian pentingnya. Kita dengarkan dulu.” Kata Meliyah.

“Ibu dan Bapak sekalian, kami perlu membicarakan secara terang benderang di jalan ini. Hari ini kami akan menggelar demonstrasi besar-besaran di istana. Kami muak dengan Tuan Raja. Dia adalah titipan setan. Dia manusia berjiwa iblis. Istrinya adalah hantu, anak-anaknya itu anak iblis. Mengapa demikian? Anggota kelompok kami akan menjelaskannya kepada bapak dan ibu sekalian” teriak seorang wanita, tinggi, yang tengah berdiri di atas mobil. Suaranya sangat keras.

Setelah dia mengatakan hal itu, tampak seorang pemuda dari barisan orang-orang itu maju, berdiri tepat di samping wanita itu.

“Kami mendapatkan bukti-bukti otentik bahwa Tuan Raja kita adalah seorang iblis. Setan. Kami pernah melihat dia ke sebuah gedung tua di sudut kota bersama istri dan kedua anaknya. Di depan gedung itu ada menara lonceng. Mereka masuk ke sana, dan menyanyikan doa-doa setan. Mereka berlutut, seperti menyembah makluk gaib saat lonceng dibunyikan. Ada banyak orang yang yang bersama mereka. Orang-orang itu adalah setan. Kami tidak asal bicara, Bapak Ibu sekalian. Kami memiliki sejumlah bukti bahwa Tuan Raja adalah titipan setan. Iblis. Betul saudara-saudara?”

“Betuuuuul.” teriak orang-orang yang berbaris, sambil mengangkat tangan kiri yang mengepal.

Tak lama setelah pidato singkat pemuda itu, kerumunan orang-orang itu lalu bergegas pergi, berjalan keluar kompleks perumahan itu sambil terus meneriakkan yel-yel. Salah satunya, “Turunkan Raja Setan. Kami tak mau Dipimpin Iblis!” Warga yang tadi mengintip dari balik pagar kembali ke rumah masing-masing. Tapi tak ada yang berkomentar, atau ikut berteriak menyahut yel-yel barisan orang-orang itu.

“Benar. Ini namanya menghakimi Tuan Raja. Bukan tuntuan penghapusan pajak. Saya tak percaya sama sekali jika kepentingan utama mereka adalah penghapusan pajak di Kota ini. Ini subyektif. Menyerang pribadi” Ujar Meliyah.

Meliyah teringat selembar kertas selebaran yang berisikan sejumlah penjelasan tentang pajak yang didapatkannya beberapa hari yang lalu. Di jalan, saat ia menunggu lampu hijau menyala di simpang empat di depan istana Raja, ia mendapati beberapa remaja tengah membagikan selembar kertas. Seperti sebuah materi kampanye.

Ada penjelasan tentang pajak dan beberapa perilaku Tuan Raja, pemimpin kota. Ada juga penjelasan tentang asal usul Tuan Raja di dalamnya. Meliyah juga mendapat jatah selembar. Ia menceritakan hal itu kepada adiknya.

“Kertas itu tidak menjelaskan tentang gedung bermenara lonceng di halamannya. Tidak sama sekali. Di dalamnya lebih banyak berisi seruan agar rakyat se-kota ini tidak menghendaki Tuan Raja memimpin lagi” Meliyah berkisah kepada adiknya.

“Aku semakin curiga, mereka ini adalah orang-orang bayaran pihak tertentu, Kak” Ujar Lintang, tiba-tiba.
“Bayaran? Orang-orang bayaran?”
“Ya"
"Siapa yang berniat membayar mereka yang jumlahnya sebanyak ini?”
“Mungkin saja saudagar-saudagar di kota, Kak. Mereka ingin menduduki istana agar bisnis gelap mereka berjalan mulus di kota kita”
“Sulit dibuktikan. Tetapi, bisa jadi benar. Dosenku dulu pernah bilang, aktor intelektual setiap konflik selalu menyembunyikan dirinya agar tak ketahuan. Tuan Raja dalam bahaya?”
“Tidak juga, Kak. Warga kota masih bersimpatik pada kepemimpinan Tuan Raja

Setelah percakapan itu, Meliyah kembali ke kamarnya. Di luar, matahari kian tinggi. Pertanda sudah hampir siang. Meliyah harus segera berangkat ke tempat ia bekerja.