Rabu, 09 November 2016

"Peraih Nobel Fisika 2016" dan Diskusi Fisika



"Peraih Nobel Fisika 2016" dan Diskusi Fisika


Jalan di Ruteng masih basah. Hujan baru saja reda, setelah sejak semalam mengguyur. Saya duduk di ruang makan, sendiri, menikmati keriuhan keponakan yang sedang bermain. Ada teh manis di meja. Masih hangat. Ada juga beberapa potong Cucur di piring putih, persis di samping gelas teh.

Dari samping rumah, saya mendengar ada suara memanggil. Lita datang lewat samping rumah, hendak masuk lewat pintu belakang. Hal yang memang telah menjadi kebiasaan Lita jika berkunjung ke rumah, sejak masa kecil.

Lita bukan orang baru di rumah kami. Dia sudah sering datang ke rumah sejak kami, dia dan saya duduk di bangku SD.

Mata saya tertuju ke pintu. Mau tahu, Lita bawa apa. Biasanya dia bawa pucuk labu. Kadang-kadang, dia juga bawa picai yang dipetik langsung dari kebun mereka di belakang rumah. Tetapi kayaknya, kali ini dia tidak bawa buah atau sayuran. Kali ini dia bawa Koran. Harian Umum Kompas. Dia lalu lebih dahulu menyapa, setelah satu langkahnya melewati pintu.

Oe..kau ada buat apa?”
“Ada duduk-duduk saja e. Kau datang dari?”
“Dari sekolah. Kami ada kegiatan sore”
“Kau tidak bawa sayur lagi, kah?”
Aeh, itu kau sudah. Tidak mungkin saya bawa pucuk labu ke sekolah. Bikin malu”

Kami tertawa. Kami senang karena kebiasaan dan gaya komunikasi sejak masa kecil tidak berubah. Diksi dan penekanan pada tiap katanya juga tidak ada yang berbeda. “Kau datang dari?” yang maksudnya “Kamu dari mana?”. “Kau ada buat apa?” maksudnya “Kamu sedang apa?” atau “What are you doing?” dalam Bahasa Inggris. Begitu lah kami sejak kecil. Akrab, dekat, bersahabat dan saling mengunjungi.

“Kau sudah baca ini?”
“Memangnya apa itu?”
“Koran. Tapi bagus diap isi e. Ada berita Peraih Nobel Fisika 2016 ”
“Kah? Mana de?”

Saya buka lembar demi lembar Koran yang Lita bawa. Di halaman belakang, di kolom sosok, tampak tulisan berjudul Pembuka Rahasia Materi ”Eksotis.” Tulisan itu cukup panjang, selayaknya artikel Kompas pada umumnya.

Ole, ini yang mereka bahas Minggu lalu e”
“Siapa? Kau mengerti Fisika memangnya kah?” ujar Lita dengan sedikit tersenyum. Dia menyindir. Dia tahu betul, saya memang bukan peminat dunia ilmu eksakta, seperti Matematika, Kimia dan Fisika. Di kelas III SMA, saya memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial.

Saya tak menghiraukan komentar-komentar sinisnya. Pikiran saya langsung lari ke diskusi di group diskusi online yang semua anggotanya adalah guru, dari tingkat SD sampai SMA. Minus dosen.

Dua minggu lalu, ada seorang anggota group yang menanyakan peraih Nobel Fisika tahun 2016. Dia memang guru Fisika di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, hingga tiga hari setelah pertanyaan itu ditebarkan di group, ia tidak kunjung mendapatkan jawaban. Tidak ada seorang pun yang merespon dan memberi jawaban.

Seminggu setelahnya, group itu kembali ramai postingan. Diawali dengan gambar kutipan kata-kata bijak, ayat-ayat kitab suci, dan meme-meme lucu dan diakhiri dengan saling menanyakan kabar di tempat masing-masing.

Entahlah. Group itu seperti sekedar tempat berkumpul di dunia maya dan saling menanyakan kabar. Hanya sampai di situ. Jarang sekali ada diskusi tentang pendidikan atau persekolahan. Padahal, semua di group itu adalah pengajar dan pendidik. Bagian dari keluasan wawasan para guru zaman sekarang? Ehhem..

Pun jika ramai, lagi-lagi, tidak ramai karena membahas tema pendidikan: tingkat dasar dan perguruan tinggi, atau soal motivasi belajar siswa yang saban hari kami didik, perubahan kurikulum, atau soal pergantian menteri pendidikan. Kebanyakan, masih tentang saling menyapa dan menciptakan kelucuan.

Sekali waktu, ramai riuh diskusinya tentang satu tema; Ahok. Silang pendapat dan puja-puji politik Ahok berseliweran di group itu. Sumber-sumber bacaan mereka dibagikan di group, yang tentunya, tak ada satu pun yang membacanya. Foto, apalagi. Banyak sekali yang dibagikan. Agama, sudah pasti dilibatkan.

Sampai jam makan siang, diskusi itu masih tetap ramai dengan tema #PilkadaDKIJakarta. Rasa-rasanya, group itu sudah seperti group analisis pilkada Jakarta versi guru. Bukti kehebatan analisis?

Ujaran kebencian tentu juga berhamburan di group. Tentu itu soal agama, yang kini tengah menjadi perhiasan utama Pilkada DKI Jakarta menyusul adanya dugaan ‘penistaan agama’ yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama, kandidat petahana Pilkada DKI Jakarta.

Diskusi juga menyerempet hingga ke urusan si pemakai Topi Songke pada aksi ormas Islam di Jakarta. Mayoritas anggota group melihat adanya pelanggaran budaya dalam pengenaan Topi Songke oleh si peserta aksi. Pelanggaran budaya adalah?

Hingga akhir diskusi, pertanyaan itu tidak dijawab dengan objektif atau berdasarkan penjelasan ahli budaya. Jawaban yang dimunculkan tidak lebih dari sekedar berasumsi. Asumsinya pun negatif. Hellooo?

Mungkinkah ada yang-karena tidak mengenal Ahok dan tidak pernah mau tahu tentang urusan agama orang lain-akan tersinggung? Group itu sama sekali tak mempertimbangkan hal itu.

Ah, sudahlah. Tidak perlu dilanjutkan. Yang jelas, saya baru saja mengantongi jawaban yang akan saya tulis di group itu untuk menjawab pertanyaan tak terjawab pekan lalu. Tentang Peraih Nobel Fisika 2016. Meskipun, informasi yang akan saya bagikan nanti tidak memenuhi syarat sebagai berita (news)- kebaruan-sebagaimana yang dulu dijelaskan oleh seorang "teman lama."

Peraih Nobel Fisika 2016

Peraih Nobel dalam bidang Fisika (Physics) tahun 2016 adalah David James Thouless, Frederick Duncan Michael Haldane dan John Michael Kosterlitz. Dalam konferensi pers Komite Nobel di Swedia, Selasa (04/10/2016), disebutkan bahwa ketiga ilmuwan tersebut telah membantu masyarakat dunia dalam 'membuka pintu ke dunia yang tidak diketahui,’ seperti yang dilansir BBC; Nobel Fisika dianugerahkan kepada tiga ilmuwan asal Inggris.

Ketiga ilmuwan kelahiran Inggris itu berhasil membuka rahasia sifat-sifat fisika pada materi yang amat tipis atau berbentuk benang. Thouless mendapatkan penghargaan lebih besar karena dia memberikan kontribusi pada dua hal yang menentukan, yaitu soal transisi fase-fase dan fase-fase materi (Kompas Cetak, 06 Oktober 2016).


David J. Thouless adalah peneliti kelahiran Bearsden, Inggris, 21 September 1934. Ia adalah seorang profesor emeritus pada University of Washington, Amerika Serikat, dan telah kembali ke Inggris. Thouless mendapatkan penghargaan lebih besar dalam penilaian Nobel Prize 2016 karena dia memberikan kontribusi pada dua hal yang menentukan, yaitu soal transisi fase-fase dan fase-fase materi, dalam “for theoretical discoveries of topological phase transitions and topological phases of matter.”

Sedangkan, Frederick Duncan Michael Haldane lahir di London, 14 September 1951 adalah seorang profesor di Princeton University, Amerika. Dan John Michael Kosterlitz adalah seorang professor fisika di Brown University, Amerika.

Dalam dokumen penjelasan pada laman resmi nobelprize.org, dijelaskan bahwa “David Thouless, Duncan Haldane, and Michael Kosterlitz have used advanced mathematical methods to explain strange phenomena in unusual phases (or states) of matter, such as superconductors, superfluids or thin magnetic films. Kosterlitz and Thouless have studied phenomena that arise in a flat world – on surfaces or inside extremely thin layers that can be considered two-dimensional, compared to the three dimensions (length, width and height) with which reality is usually described. Haldane has also studied matter that forms threads so thin they can be considered one-dimensional.”

Kompas menulis, dengan menggunakan topologi, ketiga fisikawan itu mendapatkan hasil yang mengejutkan yang memicu penelitian-penelitian lanjutan. Topologi menjelaskan sifat-sifat yang tetap sama ketika sebuah obyek berubah bentuk dengan ditekan, dibengkokkan, atau dipuntir, tetapi bukan saat obyek pecah. Secara topologi, sebuah bola dan mangkuk memiliki kategori yang sama karena yang satu bisa berubah bentuk menjadi bentuk lain.

Diskusi Fisika

Saya seorang guru, namun tidak cukup ilmu untuk membahas ilmu fisika melalui blog sederhana ini. Penyesalan tentu ada. Saat di sekolah (dari tingkat dasar hingga di perguruan tinggi), minim sekali minat untuk mempelajari atau menggeluti dunia ilmu eksakta. Hasilnya, ya sekarang. Harus berusaha keras untuk mendalami setiap tulisan beraroma eksakta.

Tetapi, begini. Ini beberapa pertanyaan yang saya tulis usai membaca berkali-kali (karena tidak paham tentunya) tulisan di Koran yang Lita bawa sore itu. Mari tengok media sosial kita, orang Manggarai. Berapa banyak group diskusi online yang dibuat untuk membahas topik pendidikan? Tentang Fisika, berapa banyak? Tentang Matematika, berapa banyak? Tentang Kimia, berapa banyak? Lalu, ada berapa banyak komunitas yang fokus membahas ilmu eksakta?

Rata-rata, komunitas diskusi online itu adalah komunitas diskusi politik. Politik pemilu, politik pembangunan, promosi calon kepala daerah dan calon anggota legislatif. Silang pendapat di dalamnya juga seru, sama serunya dengan diskusi di group diskusi yang saya ikuti di atas: ramai diskusinya, sepi kontribusi bagi pendidikannya.

Tentang Peraih Nobel Fisika 2016 itu, apakah pernah ini menjadi diskusi serius di kalangan pendidik dan pengajar dan di kalangan siswa SMA jurusan IPA? Firasat saya, ehhem, informatif saja yang didapat. Soal siapa meraih apa. Keutuhan penjelasannya akan dijadikan tugas peserta didik, di luar kelas. Mereka mencari? 

Demikian pula blog ini. juga tidak bisa membahas keutuhan penjelasan di balik peraihan Nobel Fisika 2016 karena buta bahasa Fisika.

Nota: Penjelasan yang ditulis utuh dalam Bahasa Inggris sengaja dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam menerjemahkan penjelasan sebenarnya tentang karya ketiga peraih Nobel Fisika 2016. Jujur, saya bukan guru Bahasa Inggris. Salom