Jumat, 23 September 2016

Sidang Jessica di Warung Bakso

Yang berbicara hanya dua orang. Nada suara mereka terus meninggi. Pengunjung yang lain hanya mendengar, tapi tidak melihat ke arah kedua orang itu. Mereka membiarkan keduanya terus berdebat. Rasa-rasanya, seperti sedang ada Sidang Jessica di Warung Bakso di sini. Efek siaran langsung di televisi?
Sidang Jessica di Warung Bakso
Jessica Kumala Wongso saat mengikuti sidang di PN Jakarta Pusat| Original Photo: Vivanews

Tetapi, bahwa sidang Jessica telah banyak mempengaruhi masyarakat, itu benar. Minat untuk menyaksikan sidang itu secara langsung kian hampir sama dengan minat orang nonton sinetron di sore hari. Ibu-ibu khususnya. Kesetiaan mereka menyaksikan sinetron di televisi selama ini kini setara dengan kesetiaan mereka menyaksikan sidang Jessica yang ditayangkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi. Mereka menyebutnya sebagai “Sidang Sianida”.

Seru, memang. Silang pendapat tidak hanya terjadi di ruangan sidang. Di luar ruangan sidang itu, konflik ide juga hampir sama serunya dengan yang terjadi di ruangan sidang. Debat antar pakar hukum, debat antar pengacaranya, dan, tidak ketinggalan, penjelasan para saksi ahli, semakin menambah litani keseruan sidang itu.Padahal, semua perdebatan itu hanya demi menjawab pertanyaan singkat; “Benarkah Jessica meracuni Mirna?”.

Untuk menjawabnya dengan benar, setidaknya berdasarkan hukum yang berlaku di republik ini, akan ada banyak hal yang dimunculkan. Mulai dari keterangan saksi, bukti-bukti yang ditemukan polisi (JPU), keterangan saksi ahli dan lain sebagainya. Sidang itu sedang berusaha mencari jawaban itu.

Soal heboh di masyarakat, saya melihatnya begini. Televisi telah berhasil menyihir masyarakat untuk ikut berperhatian terhadap perjalanan sidang itu, hari demi hari. Perdebatan di dalam ruangan sidang itu membuat sidang itu, semakin hari, semakin heboh. Semakin heboh, semakin tinggi pula rasa penasaran masyarakat terhadap ujug dari seterunya. Makin banyak orang yang nonton sidang itu, makin sering pula televisi menayangkannya.

Coba saja dihitung, berapa kanal televisi yang menayangkan proses sidang itu secara langsung (live) tiap hari. Belum lagi, setelah sidang yang ditayangkan secara langsung itu, ada talk show yang menghadirkan nara sumber-nara sumber ahli untuk membahas perseteruan di dalam ruangan sidang tadi. Nah, semakin bertambahlah jumlah manusia yang penasaran dengan kelanjutan sidang itu. Selain penasaran, masing-masing pihak turut memberikan tanggapan dan kesan. Entah itu berdasarkan ilmu yang dipelajarinya atau berdasarkan persepsi seketika.

Dua kawan saya ini gaduh karena perbedaan itu. Dua- duanya memberikan argumentasi berdasarkan apa yang menurutnya benar. Bisa saja, salah satunya setuju Mirna meninggal karena diracun (baca: sianida), dan satunya lagi tidak setuju jika Mirna meninggal karena diracuni. Saya menangkapnya begitu di balik perdebatan mereka. Sebab, yang jelas, mereka tidak akan berdebat karena salah satu jaksa dari JPU memiliki paras yang ganteng atau karena pengacara Jessica, Otto Hasibuan yang suaranya selalu bernada (seperti) membentak lawan bicara.

Saya diam, tidak ikut berkomentar. Bakso yang saya pesan sudah dihidangkan. Bakso semangkok dilahap. Meski, telinga kadang terusik karena mereka berdebat dengan nada yang tak pernah kenal rendah. Setelah makan, saya pulang. Di luar langit tampak mendung. Hombel akan diguyur hujan lebat. Lagipula, saya bukan penonton setia “Sidang Sianida”. Saya penikmat FTV.